PENDAHULUAN
A.
Skenario
pak tito
baru saja diangkat menjadi kepala ruangan instalasi interne di Rumah sakit X
tipe B. Ia merasa senang sekali dengan promosi yang ia dapatkan dan merasa
percaya diri akan dapat memimpin ruangan tersebut untuk dapat berkembang. Dalam
menjalankan tugasnya sebagai kepala ruangan, pak tito mencoba gaya kepemimpinan
Laissez Faire yang dianggapnya sebagai gaya kepemimpinan yang tepat untuk
situasi ruangan pada saat itu. Pak tito berupaya menjalankan tugasnya sebaik
mungkin terutama ia fokuskan pada hal-hal yang bersifat tugas manajerial dan
tugas administratif.
Namun, baru
2 bulan memimpin ia mulai menghadapi permasalahan yang berdatangan. Mulai dari
komplain pasien dan keluarga mengenai layanan perawat yang kurang memuaskan,
perawat jutek dan kurang komunikatif dan sarana sarana yang tidak memadai.
Setelah 6
bulan memimpin, pak tito belum merasakan peranya sebagai change agent belum terlaksana dengan baik. Komplain-komplain dari
pasien dan keluarga pasien terus berdatangan menuntut kualitas pelayanan
keperawatan yang berkualitas. Komunikasi staf dan pemimpin juga belum berjalan
dengan baik.
Ketika pak
tito berusaha mengklarifikasi komplain tersebut pada perawat di ruangan, ia
mendapatkan informasi bahwa beban kerja perawat di ruangan sangat tinggi.
Dimana perbandingan perawat dengan pasien adalah 1:10 orang dengan Bed Occupation Rate sebesar 100%.
B.
Kata Sulit
1. Laissez faire
diartikan
sebagai gaya “membebaskan” bawahan melakukan sendiri apa yang ingin
dilakukannya. Dalam hal ini, pemimpin melepaskan tanggung jawabnya,
meninggalkan bawahan tanpa arah, supervisi atau koordinasi sehingga terpaksa
mereka merencanakan, melakukan dan menilai pekerjaan yang menurut mereka tepat.
2.
Manajerial
Adalah
seseorang yang mengarahkan orang lain dan bertanggung jawab atas pekerjaan
tesebut.
3.
Administratif
Administasi
adalah usaha dan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan
untuk mencapai tujuan.
4.
Komunikatif
Komunikatif
adalah keadaan saling berhubungan yang mudah dipahami dalam berkomunikasi
sehingga pesan dapat disampaikan dan dipahami dengan baik.
5. Change agent
Change agent
adalah seseorang yang dapat mempengaruhi individu atau kelompok dalam
pengambilan keputusan dalam mengadopsi satu inovasi agar terjadi perubahan
prilaku sesuai dengan yang direncanakan atau yang diinginkan.
6. Bed Occupation Rate
Bed occupation rate adalah
Persentase pemakaian tempat tidur pada satu
satuan waktu tertentu. Indiktor ini memberikan gambaran tinggi rendahnya
tingkat pemanfaatan dari tempat tidur rumah sakit.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Berikut ini beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai
definisi kepemimpinan:
1. Rauch &
Behling (1984)
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah kelompok
yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan.
2.
Locke & Associates (1997)
Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses membujuk (inducing)
orang-orang lain untuk mengambil langkah menuju sasaran bersama.
3. Stogdill
Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas seseorang atau
sekelompok orang untuk mau berbuat dan mencapai tujuan tertentu yang telah
ditetapkan.
4. Ordway Ted
Kepemimpinan adalah perpaduan berbagai perilaku yang dimiliki seseorang
sehingga orang tersebut mempunyai kemampuan untuk mendorong orang lain bersedia
dan dapat menyelesaikan tugas - tugas tertentu yang dipercayakan kepadanya.
5. Georgy R. Terry
Kepemimpinan adalah hubungan yang tercipta dari adanya pengaruh yang
dimiliki seseorang terhadap orang lain sehingga orang lain tersebut secara
sukarela mau dan bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
6. Paul Hersay, Ken Blanchord
Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas seseorang atau
sekelompok orang untuk mencapai tujuan
tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu situasi tertentu.
B.
Kriteria Pemimpin
Menurut R.L.Khan mengemukaaan
bahwa seorang pemimpin menjalankan pekerjaannya dengan baik bila :
1. Memberikan
kepuasan kebutuhan langsung para bawahannya.
2. Menyusun
jalur pencapaian tujuan
3. Menghilangkan
hambatan – hambatan pencapaian tujuan
4. Mengubah
tujuan karyawan sehingga tujuan mereka bisa berguna secara organisatoris
Menurut S.Suarli
Pemimpin yang berkualitas harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Mempunyai
keinginan untuk menerima tanggung jawab
2. Mempunyai
kemampuan untuk perceptive insight atau persepsi introspektif
3. Mempunyai
kemampuan untuk menentukan priorotas
4. Mempunyai
kemampuan untuk berkomunikasi
C. Kepemimpinan
dan Keperawatan
Menurut Milio perawat mempunyai
kapasitas kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan masyarakat dan
menganjurkan untuk mempersiapkan langkah-langkah berikut :
1. Mengatur,
2. Melakukan
pekerjaan : belajar mengerti proses politik, kelompok-kelompok penting,
masyarakat, dan kejadian tertentu,
3. Menyusun
perbedaan pendapat yang bersifat memancing untuk mencocokan target peserta
dengan mengajukan pembatalan biaya, dukungan politik, kejujuran dan keadali,
4. Mendukung
dan memperkuat kedudukan pembuat keputusan yang tidak mantab,
5. Menghimpun
kekuatan,
6. Merangsang
perdebatan masyarakat,
7. Membuat
kedudukan perawat dimedia massa,
8. Memilih
suatu strategi utama yang paling efektif
9. Bertindak
pada saat yang tepat,
10. Mempertahankan
kegiatan,
11. Memelihara
format desentralisasi organisasi,
12. Mendapatkan
dan mengembangkan data penelitian yang terbaik untuk menunjang posisi
masing-masing,
13. Mempelajari
pengalaman,
14. Jangan menyerah
tanpa mencoba.
Perawat
dalam posisi kepemimpinan adalah paling berpengaruh.
D. Gaya Kepemimpinan
Gaya
kepemimpinan dapat diartikan sebagai penampilan atau karakteristik
khusus dari suatu bentuk kepemimpinan . Ada 4 (empat)
gaya kepemimpinan yang telah dikenal yaitu: otokratis, demokratis, partisipatif
dan laissez faire (Gillies, 1996).
1.
Gaya Kepemimpinan Otokratis
Gaya
kepemimpinan otokratis adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuatan
jabatan dan kekuatan pribadi secara otoriter, melakukan sendiri semua
perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan dan memotivasi bawahan dengan cara
paksaan, sanjungan, kesalahan dan penghargaan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Dengan
ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Wewenang mutlak terpusat pada pimpinan,
b.
Keputusan selalu dibuat oleh pimpinan,
c.
Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pimpinan,
d.
Komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan kepada bawahan,
e.
Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para
bawahannya dilakukan secara ketat,
f.
Prakarsa harus selalu dating dari pimpinan,
g.
Tiada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran, pertimbangan atau
pendapat,
h.
Tugas- tugas bagi bawahan diberikan secara instruktif,
i.
Lebih banyak kritik daripada pujian,
j.
Pimpinan menuntut prestasi sempurna dari bawahan tanpa syarat,
k.
Pimpinan menuntut kesetiaan mutlak tanpa syarat,
l.
Cenderung adanya paksaan, ancaman dan hukuman,
m.
Kasar dalam bertindak,
n.
Kaku dalam bersikap,
o.
Tanggung jawab keberhasilan organisasu hanya dipikul oleh pimpinan.
§ Keuntungan : kecepatan
serta ketegasan dalam pembuatan keputusan dan bertindak, sehingga untuk
sementara mungkin produktivitas dapat naik.
§ Kerugian : suasana kaku, tegang, mencekam,
menakutkan sehingga dapat berakibat lebih lanjut timbulnya ketidak puasan.
2. Gaya
Kepemimpinan Demokratis
Gaya
kepemimpinan demokratis adalah gaya seorang pemimpin yang menghargai
karakteristik dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap anggota
organisasi.Pemimpin yang demokratis menggunakan kekuatan jabatan dan kekuatan
pribadi untuk menggali dan mengolah gagasan bawahan dan memotivasi mereka untuk
mencapai tujuan bersama. kepemimpinan demokratis memiliki ciri- ciri sebagai berikut
:
a.
Wewenang pimpinan tidak mutlak,
b. Pemimpin
bersedia melimpahkan sebagai wewenang kepada bawahan,
c.
Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan,
d. Kebijakan
dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan,
e.
Komunikasi berlangsung timbale balik, baik terjadi
antar pimpinan dengan bawahan maupun bawahan dengan bawahan,
f.
Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku perbuatan atau
kegiatan bawahan dilakukan secara wajar,
g. Prakarsa
dapat dating dari pimpinan maupun bawahan,
h. Banyak
kesempatan bagi bawahan diberikan dengan lebih bersifat permintaan dari pada
instruktif,
i.
Tugas-tugas kepada bawhan diberikan dengan lebih
bersifat permintaan dar pada instruktif,
j.
Pujian dan kritik seimbang,
k. Pimpinan
mendorong prestasi sempurna para bawahan dalam bats kemampuan masing-masing,
l.
Pimpinan meminta kesetiaan secara wajar,
m. Pimpinan
memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak,
n. Terdapat
suasana saling percaya, saling hrmat, menghormati dan saling harga menghargai,
o. Tanggung
jawab keberhasilan organisasi dipikul bersama pimpinan dan bawahan.
ü Keuntungan : berupa keputusan serta tindakan yang lebih
objektif, tumbuhnya rasa ikut memiliki, serta terbinannya moral yang tinggi.
ü Kelemahan :
keputusan serta tindakan kadang – kadang lamban, rasa tanggung jawab kurang,
keputusan yang dibuat bukan merupakan keputusan yang terbaik.
3.
Gaya Kepemimpinan Partisipatif
Gaya
kepemimpinan partisipatif adalah gabungan bersama antara gaya kepemimpinan
otoriter dan demokratis dengan cara mengajukan masalah dan mengusulkan tindakan
pemecahannya kemudian mengundang kritikan, usul dan saran bawahan. Dengan
mempertimbangkan masukan tersebut, pimpinan selanjutnya menetapkan keputusan
final tentang apa yang harus dilakukan bawahannya untuk memecahkan masalah yang
ada.
4.
Gaya Kepemimpinan Laisses
Faire “ Liberal “
Gaya
kepemimpinan laisses faire dapat diartikan sebagai gaya “membebaskan” bawahan
melakukan sendiri apa yang ingin dilakukannya. Dalam hal ini, pemimpin
melepaskan tanggung jawabnya, meninggalkan bawahan tanpa arah, supervisi atau
koordinasi sehingga terpaksa mereka merencanakan, melakukan dan menilai
pekerjaan yang menurut mereka tepat.
Kepemimpinan Liberal antara lain
berciri :
i.
Pimpinan melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada
bawahan,
ii.
Keputusan lebih banyak dibuat oleh para bawahan,
iii.
Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh para bawahan,
iv.
Pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh
bawahannya,
v.
Hampir tiada pengawasan terhadap sikap, tingkah laku,
perbuatan, atau kegiata yang dilakukan para bawahan,
vi.
Prakarsa selalu dating dari bawahan,
vii.
Hampir tida pengarahan dari pimpinan,
viii.
Peran pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok,
ix.
Kepentingan pribadi lebih utama daripada kepentingan
kelompok,
x.
Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul oleh
orang per orang.
Selanjutnya dapat dikemukan bahwa
keempat gaya kepemimpinan di atas memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Setiap gaya kepemimpinan bisa efektif dalam situasi tertentu tetapi tidak
efektif dalam situasi lainya.
Menurut (Gillies, 1996) Faktor yang
menetukan efektifitas gaya kepemimpinan secara situasional meliputi:
a.
Kesulitan atau kompleksitas tugas yang diberikan,
b.
Waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tugas,
c.
Ukuran unit organisasi,
d.
Pola komunikasi dalam organisasi
e.
Latar belakang pendidikan dan pengalaman pegawai,
f.
Kebutuhan pegawai dan kepribadian pemimpin
ü Keuntungan
: para anggota atau bawahan akan dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
ü Kelemahan
: kekacauan karena tiap pejabat bekerja menurut selera masing- masing.
Teori lain mengatakana gaya
kepemimpinan antara lain:
1. Teori Kontingensi
1.1 Teori Fiedler.
Teori atau model kontingensi (Fiedler, 1967) sering disebut teori
situasional karena teori ini mengemukakan kepemimpinan yang tergantung pada
situasi.
Model atau teori kontingensi Fiedler melihat bahwa kelompok efektif
tergantung pada kecocokan antara gaya pemimpin yang berinteraksi dengan
subordinatnya sehingga situasi menjadi pengendali dan berpengaruh terhadap
pemimpin. Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau
lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota
kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yang spesifik.
Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh
karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau
pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana
telah kita pahami bahwa strategi yang paling efektif mungkin akan bervariasi
dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin
yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency
Approach. Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin
kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal
yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan
situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua
hal tersebut harus dipertimbangkan.
Teori kontingensi melihat pada aspek situasi dari kepemimpinan (organization
context). Fiedler mengatakan bahwa ada 2 tipe variabel kepemimpinan: Leader
Orientation dan Situation Favorability.
1. Leader Orinetation :
apakah pemimipin pada suatu organisasi berorinetasi pada relationship
atau beorintasi pada task. Leader Orientation diketahui dari Skala semantic
differential dari rekan yang paling tidak disenangi dalam organisasi (Least
preffered coworker = LPC)
LPC tinggi jika pemimpjn tidak menyenangi rekan kerja, sedangkan LPC yang
rendah menunjukkan pemimpin yang siap menerima rekan kerja untuk bekerja sama.
Skor LPC yang tinggi menujukkan bahwa pemimpin berorientasi pada relationship,
sebaliknya skor LPC yang rendah menunjukkan bahwa pemimpin beroeintasi pada
tugas. Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang
mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin
yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang atau
hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun
sangat tinggi. Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif
dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.
2. Situation favorability:
sejauh mana pemimpin tersebut dapat
mengendailikan suatu situasi, yang ditentukan oeh 3 variabel situasi, yaitu :
Ø Leader-Member
Orintation: hubungan pribadi antara pemimpin dengan para anggotanya.
Ø Task Structure: tingkat struktur tugas yang
diberikan oleh pemimpin untuk dikerjakan oleh anggota organisasi.
Ø Position Power: tingkat kekuasaan yang diperoleh
pemimpin organisasi karena kedudukan.
Situation favorability tinggi jika LMO baik, TS tinggi dan PP besar,
sebaliknya Situation Favoribility rendah jika LMO tidak baik, TS rendah dan PP
sedikit.
1.2 Teori Path
Goal.
Path-Goal Theory atau model arah tujuan ditulis oleh House (1971)
menjelaskan kepemimpinan sebagai keefektifan pemimpin yang tergantung dari
bagaimana pemimpin memberi pengarahan, motivasi, dan bantuan untuk pencapaian
tujuan para pengikutnya. Bawahan sering berharap pemimpin membantu mengarahkan
mereka dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain bawahan berharap para pemimpin
mereka membantu mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan bernilai mereka.
Ide di atas memainkan peran penting dalam House’s path-goal theory yang
menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan pemimpin yang menjelaskan bentuk tugas dan
mengurangi atau menghilangkan berbagai hambatan akan meningkatkan
persepsi para bawahan bahwa bekerja keras akan mengarahkan ke kinerja yang baik
dan kinerja yang baik tersebut selanjutnya akan diakui dan diberikan ganjaran.
Path Goal Theory menekankan pada cara-cara pemimpin memfasilitasi
kinerja kerja dengan menunjukkan pada bawahan bagamana kinerja diperoleh
melalaui pencapaian rewards yang diinginkan. Path Goal theory
juga mengatakan bahwa kepuasan kerja dan kinerja kerja tergantung pada
expectancies bawahan. Harapan-harapan bawahan bergantung pada ciri-ciri bawahan
dan lingkungan yang dihadapi oleh bawahan. Kepuasan dan kinerja kerja bawahan
bergantung pada leadership behavior dan leadership style.
Ada 4 macam
leadership style :
1.
Supportive Leadership
Gaya
kepemimpinan ini menunjukkan perhatian pada kebutuhan pribadi karyawannya.
Pemimpin jenis ini berusaha mengembangkan kepuasan hubungan interpersonal
diantara para karyawan dan berusaha menciptakan iklim kerja yang bersahabat di
dalam organisasi.
2.
Directive Leadership
Pemimpin yang memberikan bimbingan khusus pada
Karyawannya dengan menetapkan standar kinerja, mengkoordinasi kinerja kerja dan
meminta karyawan untuk mengikuti aturan aturan organisasi.
3.
Achievement Oriented Leadership
Pemimpin yang menetapkan tujuan yang menantang pada
bawahannya dan meminta bawahan untuk mencapai level performens yang tinggi.
4.
Participative Leadership
Pemimpin yang menerima saran-saran dan nasihat-nasihat
bawahan dan menggunakan informasi dari bawahan dalam pengambilan keputusan
organisasi.
Hal yang menentukan keberhasilan dari setiap jenis kepemimpinan tersebut
adalah subordinate characteristics (contohnya: Karyawan yang internal l
locus of control atau external locus of control, karyawan yang mempunyai need
achievement yang tinggi atau need affiliation yang tinggi, dll.) dan environmental
factors (system kewenangan dalam organisasi).
1.3 Teori
Vroom dan Yetton.
Leader-Participation Model ditulis oleh Vroom dan Yetton
(1973). Model ini melihat teori kepemimpinan yang menyediakan seperangkat
peraturan untuk menetapkan bentuk dan jumlah peserta pengambil keputusan dalam
berbagai keadaan. Teori Yetton dan Vroom mengemukakan bahwa kepuasan dan
prestasi disebabkan oleh perilaku bawahan yang pada gilirannya dipengaruhi oleh
perilaku atasan, karakteristik bawahan dan faktor lingkungan. Salah satu tugas
utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan
yang dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kepada para bawahan
mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah
kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan yang
bersangkutan melaksanakan tugas-tugas pentingnya.
Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam
jangka panjang dibanding dengan mereka yang tidak mampu membuat keputusan
dengan baik. Dalam mengambil keputusan, bagaimana pemimpin memperlakukan
bawahannya. Dengan kata lain seberapa jauh para bawahannya diajak
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana telah kita pahami bahwa
partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan
kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.
Teori kepeminmpinan vroom & yetton adalah jenis teori kontingensi yang
menitikberatkan pada hal pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemimpin.
Dalam hal ini ada 5 jenis cirri pengambilan
keputusan dalam teori ini :
·
A-I : pemimpin mengambil sendiri keputusan
berasarkan informasi yang ada padanya saat itu.
·
A-II : pemimpin memperoleh informasi dari bawahannya
dan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang didapat. jadi peran bahawan
hanya memberikan informasi, bukan memberikan alternatif.
·
C-I : pemimpin memberitahukan masalah yang
sedang terjadi kepada bawahan secara pribadi, lalu kemudian memperoleh
informasi tanpa mengumpulkan semua bawahannya secara kelompok, setelah itu
mengambil keputusan dengan mempertimbangkan/ tidak gagasan dari bawahannya.
·
C-II : pemimpin mengumpulkan semua bawahannya secara
kelompok, lalu menanyakan gagasan mereka terhadap masalah yang sedang ada, dan
mengambil keputusan dengan mempertimbangkan/tidak gagasan bawahannya
·
G-II : pemimpin memberitahukan masalah kepada
bawahanya secara berkelompok, lalu bersama – sama merundingkan jalan keluarnya,
dan mengambil keputusan yang disetujui oleh semua pihak.
contoh kasusnya, dalam sebuah took kue, pemimpin took akan membicarakan
masalah yang terjadi, misalnya cara menarik minat pembeli agar menjadi
pelanggan tetap tokonya. Pemilik took akan mengumpulkan semua karyawannya dan
menanyakan pendapat mereka. pemilik akan menampung semua gagasan mereka, lalu
memilih gagasan yang dianggap paling menarik dan disetujui oleh semua
karyawannya.
Contoh kasus diatas, itu sesuai dengan cirri pengambilan keputusan G-II
yang dikemukakan oleh vroom & yetton. Dan menurut saya, ciri G-II adalah
yang paling layak digunakan.
E.
Ciri Dan Ketrampilan Yang Harus Dikuasai Pemimpin Yang
Efektif
Menurut
Kadarman & Udaya Seorang pemimpin yang efektif tidak akan menggunakan
kelebihannya untuk menaklukkan orang lain, namun justru digunakan untuk
mendorong bawahannya dalam mencapai tujuan sesuai dengan kemampuan yang ada.
1. Swanburg
(2000) menyatakan bahwa karakteristik pemimpin yang efektif adalah sebagai
berikut:
a. Intelegensi
(pengetahuan, pendapat, keputusan, berbicara)
b. Kepribadian
(mudah adaptasi, waspada, kreatif, kerjasama, integritas pribadi yang baik,
keseimbangan emosi dan tidak ketergantungan kepada orang lain)
c. Kemapuan
(bekerjasama, hubungan antar manusia dan partisipasi sosial).
2.
Fiedler (1977), dikutip dari Gillies (1996)
menyatakan bahwa kepemimpinan dapat berjalan efektif bila:
a.
Kepemimpinan berganti dari satu orang ke orang lain
dan berganti dari satu gaya ke gaya lainnya seiring dengan terjadinya perubahan
situasi kerja.
b. Pemimpin
sebaiknya berasal dari anggota kelompok kerja, mengenal situasi kerja dan
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibanding anggota kelompok kerja lainnya.
3.
Bennis menyatakan bahwa pemimpin yang efektif adalah
pemimpin yang memenuhi karakteristik sebagai berikut:
a.
Mempunyai pengetahuan yang luas dan kompleks tentang
sistem manusia.
b. Menerapkan
pengetahuan tentang pengembangan dan pembinaan bawahan.
c.
Mempunyai kempuan menjalin hubungan antar manusia.
d. Mempunyai
sekelompok nilai dan kemampuan yang memungkinkan untuk mengenal orang lain
dengan baik.
4.
Merton, menguraikan kepemimpinan yang efekti dapat
memenuhi 4 keadaan yaitu :
a.
Seseorang akan mengerti apabila menerima auatu
komunikasi,
b.
Mempunyai pedoman apa yang harus dilakukan yang
diminta oleh komunikasi tadi,
c.
Percaya bahwa perilaku yang diminta adalah sesuai
dengan kehendak perorangan dengan nilai yang baik,
d.
Sesuai dengan tujuan dan nilai organisasi.
F.
Peran Dan Fungsi Kepala Ruang Sebagai Pemimpin
Menutur Depkes RI 1994, “ Kepala ruangan adalah seorang tenaga perawat profersional
yang diberi tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola kegiatan pelayanan
keperawatan di satu ruang rawat.”
1.
Peran Kepala Ruang
Adapun tanggung jawab kepala ruangan
menurut Gillies (1994) adalah peran kepala ruangan harus lebih peka
terhadap anggaran rumah sakit dan kualitas pelayanan keperawatan, bertanggung
jawab terhadap hasil dari pelayanan keperawatan yang berkualitas, dan
menghindari terjadinya kebosanan perawat serta menghindari kemungkinan
terjadinya saling melempar kesalahan.
Tanggung jawab kepala rungan dapat diidentifikasi
sesuai dengan perannya meliputi:
a. Manajemen
personalia/ketenagaan, meliputi penerimaan, seleksi, orientasi, pengembangan
tenaga, penilain penampilan kerja, promosi dan penyediaan ketenagaan staf
keperawatan.
b. Manajemen
operasional, meliputi perencanaan, pengorganisasian, dan pengarahan dalam
pelayanan keperawatan.
c. Manajemen
kuliatas pelayan, meliputi pengembangan standar asuhan keperarawatan, program
kendali mutu, program evaluasi team dan persiapan untuk akreditasi pelayanan
keperawatan.
d. Manajemen
finansial, meliputi budget, cost control dalam pelayanan keperawatan.
2. Fungsi Kepala Ruang
Adapun fungsi kepala ruangan menurut Marquis
dan Houston (2000) sebagai berikut:
a. Perencanaan
: dimulai dengan penerapan filosofi, tujuan, sasaran, kebijaksanaan, dan
peraturan – peraturan : membuat perencanaan jangka pendek dan jangka panjang
untuk mencapai visi, misi, dan tujuan, organisasi, menetapkan biaya – biaya
untuk setiap kegiatan serta merencanakan dan pengelola rencana perubahan.
b. Pengorganisasian:
meliputi pembentukan struktur untuk melaksanakan perencanaan, dan menetapkan
metode
Menurut Kron (1981), ruang lingkup
kegiatan kepemimpinan dalam keperawatan meliputi:
1. Perencanaan
dan pengorganisasian
2. Membuat
penugasan dan memberi pengarahan
3. Pemberian
bimbingan
4. Mendorong
kerjasama dan partisipatif
5. Kegiatan
koordinasi
6. Evaluasi
hasil kerja.
G.
Memimpin Perubahan Dalam Organisasi
1.
Hambatan-hambatan Perubahan
Namun,
perubahan organisasional bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ada banyak kendala
yang bisa menghadang dan memacetkan program-program perubahan. Sejumlah kendala
yang ditengarai oleh George dan Jones (2002:645-646) adalah:
a.
kendala-kendala sistem keorganisasian dan kekuasaan,
b.
perbedaan-perbedaan dalam orientasi fungsional dan
struktur organisasi yang mekanistik,
c.
kelembaman (inertia) kultur organisasi,
d.
norma dan kohesivitas kelompok,
e.
pemikiran kelompok (group think) dan kendala-kendala
individual, seperti ketidaksiapan yang mengakibatkan rasa ketidakpastian,
kekhawatiran, ketidakamanan, persepsi selektif, dan retensi kebiasaan.
Mekanisme yang telah tertanam untuk menghasilkan kemantapan dalam
beroperasinya suatu organisasi -- yang diberlakukan dalam sistem seleksi
karyawan, sistem pelatihan, sistem penilaian kinerja, sistem reward dan
punishment, sistem informasi, sistem keuangan, sistem pengambilan keputusan,
dan lain-lain akan menghasilkan suatu inertia ketika menghadapi perubahan. Pola
hubungan-hubungan kekuasaan yang telah mapan dan mendatangkan sejumlah
privileges bagi para pelakunya juga dapat menghambat upaya perubahan yang
mengarah pada redistribusi wewenang pengambilan keputusan. Para manajer dan
supervisor yang menikmati kewenangan yang luas mungkin merasa terancam dengan
akan diberlakukannya sistem pengambilan keputusan partisipatif atau
diterapkannya tim kerja swakelola.
Budaya organisasi, sebagaimana disebutkan hampir 60 tahun yang lalu oleh
Selznick (1948), merupakan variabel independen yang sangat memengaruhi perilaku
karyawan. Nilai-nilai yang sudah terlembagakan melalui praktik perilaku
organisasional dalam kurun waktu yang cukup lama akan menjadi panduan otomatis
perilaku para karyawan. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat, yakni yang
ditandai dengan dipegang dan dianutnya nilai-nilai inti organisasi secara
intensif dan secara luas oleh anggota organisasi tersebut (Wiener, 1988), akan
menyulitkan suatu perubahan organisasional yang menuntut berubahnya nilai-nilai
inti tersebut. Dengan demikian, suatu organisasi yang sudah berpuluhtahun
mempraktikkan nilai-nilai budaya korup, etos kerja medioker atau bahkan
minimalis, dan business ethics yang rendah sudah barangtentu tidak mudah untuk
berubah menjadi organisasi yang berbudaya etis, menjunjung tinggi nilai-nilai
moral, beretoskerja tinggi, dan berorientasi pada keunggulan.
Kelompok-kelompok kerja, formal maupun non-formal juga dapat menjadi
penghalang upaya perubahan. Individu-individu yang ingin mengubah perilaku
kerjanya besar kemungkinan akan dihambat oleh norma kelompok yang tidak
sejalan. Tekanan kelompok dapat mengerem usaha-usaha individual maupun program
perubahan organisasional. Kelompok-kelompok dengan kohesivitas tinggi yang
merasa terancam akan kehilangan kenyamanannya atas penguasaan suatu sumber daya
organisasi mungkin akan melakukan perlawanan.
2. Bidang
Sasaran Perubahan
Pada dasarnya ada empat bidang organisasional yang bisa menjadi sasaran
perubahan, yaitu struktur organisasi, teknologi, setting fisik, dan sumber daya
manusia (Robertson et. al., 1993).
Hal-hal yang bersifat struktural seperti pembagian kerja, sistem-sistem
operasi, rentang kendali, dan desain organisasi jika dirasa sudah tidak lagi
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dapat diubah. Dapat dipertimbangkan
perlunya dilakukan perubahan uraian pekerjaan (job description), pengayaan
pekerjaan (job enrichment), pelenturan jam kerja, dan penerapan sistem imbalan
yang lebih berbasis kinerja atau profit sharing.
Tanggungjawab departemental dapat digabung demi keefektifan dan efisiensi.
Beberapa lapisan vertikal dapat dihilangkan dan rentang kendali diperlebar demi
mengurangi birokratisasi dan menambah daya responsi organisasi terhadap
dinamika lingkungan. Aturan-aturan/prosedur yang dirasa menghambat kinerja bisa
dipangkas, diganti dengan aturan-aturan/prosedur yang diperlukan untuk
meningkatkan standardisasi. Proses pengambilan keputusan juga dapat dipercepat
dengan meningkatkan desentralisasi. Bahkan, jika desain organisasi dengan
struktur sederhana (simple structure) dinilai tidak lagi memadai, perlu
dipertimbangkan memodifikasinya menjadi stuktur matriks, struktur tim, atau
bentuk lainnya.
Mengubah teknologi seringkali diperlukan demi efektivitas kerja karyawan
dan peningkatan kinerja organisasi. Perubahan teknologis biasanya meliputi
mesin-mesin, peralatan kerja, metode kerja, dan yang paling mencolok dewasa ini
adalah otomatisasi atau komputerisasi. Otomatisasi menggantikan orang dengan
mesin yang dapat bekerja lebih cepat, lebih akurat dan lebih murah. Sistem
informasi yang canggih memudahkan pengelolaan dan pemanfaatan informasi secara
menakjubkan.
3.
Kepemimpinan yang Diperlukan untuk Perubahan
Mengingat pentingnya upaya perubahan organisasional di tengah lingkungan
yang berubah cepat dan bahkan acapkali bersifat diskontinyu, dan mengingat
strategis dan krusialnya bidang-bidang sasaran perubahan serta kompleksnya
faktor-faktor yang dapat merintangi upaya perubahan, maka perubahan
organisasional seringkali tidak dapat dibiarkan terjadi secara “alamiah” saja.
Perubahan seringkali perlu dirancang, direkayasa dan dikelola oleh suatu
kepemimpinan yang kuat, visioner, cerdas, dan berorientasi pengembangan --
sebagai agen perubahan.
Perubahan memerlukan kepemimpinan yang kuat dari segi otoritas yang dimilki
maupun dari segi kepribadian dan komitmen karena memimpin perubahan dengan
segala kompleksitas permasalahan dan hambatannya memerlukan power, keyakinan,
kepercayaan diri, dan keterlibatan diri yang ekstra. Seperti yang disebutkan
oleh Zaleznik (1986), seorang pemimpin tidak boleh bersikap impersonal, apalagi
pasif terhadap tujuan-tujuan organisasi, melainkan harus mengambil sikap
pribadi dan aktif. Dengan begitu ia tidak akan mudah patah oleh hambatan dan
perlawanan. Ia justru akan bergairah menghadapi tantangan perubahan yang
dipandangnya sebagai batu ujian kepemimpinannya (Maxwell, 1995).
Pemimpin perubahan juga harus visioner karena ia harus sanggup melihat
cukup jauh ke depan ke arah mana kapal organisasi harus bergerak. Kotter (1990)
menyebutkan bahwa memimpin perubahan harus dimulai dengan menetapkan arah
setelah mengembangkan suatu visi tentang masa depan, dan kemudian menyatukan
langkah orang-orang dengan mengomunikasikan penglihatannya dan mengilhami
mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan. Semua itu dilakukan tanpa harus
bersikap otoriter. Namun, meskipun ia mengundang partisipasi pemikiran dari
anggota, tongkat kepemimpinan tetaplah berada di tangannya.
Kecerdasan juga sangat diperlukan untuk kepemimpinan perubahan. Tanpa
kecerdasan yang baik, ia akan mudah terombang-ambing dalam kebingungan.
Kecerdasan sangat diperlukan karena pemimpin harus pandai memilih strategi dan
menetapkan program-program perubahan dan mengilhami teknik-teknik pengatasan
masalah yang sesuai dengan situasi dan kondisi organisasional yang ada berserta
dinamikanya. Kecerdasan yang diperlukan dalam hal ini adalah kecerdasan yang
multi-dimensional, yang pada intinya meliputi kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
H.
Kepemimpinan Dalam Tim Dan Kelompok Keputusan
1. Peran
kepemimpinan dalam pengambilan keputusan
Kepemimpinan seseorang dalam sebuah organisasi sangat besar perannya dalam
setiap pengambilan keputusan, sehingga membuat keputusan dan mengambil tanggung
jawab terhadap hasilnya adalah salah satu tugas pemimpin. Sehingga jika seorang
pemimpin tidak mampu membuat keputusan, seharusnya dia tidak dapat menjadi
pemimpin.
Dilain hal, pengambilan keputusan dalam tinjauan perilaku mencerminkan
karakter bagi seorang pemimpin. Oleh sebab itu, untuk mengetahui baik tidaknya
keputusan yang diambil bukan hanya dinila dari konsekwensi yang ditimbulkannya.
Melainkan melalui berbagai pertimbangan dalam prosesnya. Kegiatan pengambilan
keputusan merupakan salah satu bentuk kepemimpinan, sehingga:
1. Teori
keputusan
meupakan metodologi untuk menstrukturkan
dan menganalisis situasi yang tidak
pasti atau berisiko, dalam konteks ini keputusan lebih bersifat perspektif
daripada deskriptif
2.
Pengambilan keputusan
proses mental dimana seorang manajer memperoleh dan menggunakan data dengan
menanyakan hal lainnya, menggeser jawaban untuk menemukan informasi yang
relevan dan menganalisis data; manajer, secara individual dan dalam tim,
mengatur dan mengawasi informasi terutama informasi bisnisnya.
3.
Pengambilan keputusan
proses memlih di antara alternatif-alternatif tindakan untuk mengatasi masalah.
Dalam pelaksanaannya, pengambilan keputusan dapat dilihat dari beberapa
aspek, yaitu: proses dan gaya pengambilan keputusan.
1. Proses pengambilan keputusan
Prosesnya dilakukan melalui beberapa tahapan seperti:
a. Identifikasi masalah
b. Mendefinisikan masalah
c. Memformulasikan dan mengembangkan alternative
d. Implementasi keputusan
e. Evaluasi keputusan
2. Gaya
pengambilan keputusan
Selain proses pengambilan keputusan, terdapat juga gaya pengambilan
keputusan. Gaya adalah lear habit atau kebiasaan yang dipelajari. Gaya
pengambilan keputusan merupakan kuadran yang dibatasi oleh dimensi:
1. Cara berpikir, terdiri dari:
a. Logis dan rasional; mengolah informasi secara serial
b. Intuitif dan kreatif; memahami sesuatu secara keseluruhan.
2. Toleransi terhadap ambiguitas
a. Kebutuhan
yang tinggi untuk menstruktur informasi dengan cara meminimalkan ambiguitas
b. Kebutuhan
yang rendah untuk menstruktur informasi, sehingga dapat memproses banyak
pemikiran pada saat yang sama.
Kombinasi
dari kedua dimensi diatas menghasilkan gaya pengambilan keputusan seperti:
4.
Direktif
toleransi ambiguitas rendah dan mencari rasionalitas. Efisien, mengambil
keputusan secara cepat dan berorientasi jangka pendek
5. Analitik
toleransi ambiguitas tinggi dan mencari rasionalitas. Pengambil keputusan
yang cermat, mampu menyesuaikan diri dengan situasi baru
6.
Konseptual
toleransi
ambiguitas tinggi dan intuitif. Berorientasi jangka panjang, seringkali menekan
solusi kreatif atas masalah
7. Behavioral
toleransi ambiguitas rendah dan intuitif. Mencoba menghindari konflik dan
mengupayakan penerimaan.
Berdasarkan
uraian di atas, maka berikut adalah upaya-upaya yang perlu ditempuh seperti:
1. Cerna masalah
Sejalan dengan peran kepemimpinan, maka
terdapat perbedaan antara permasalahan tentang tujuan dan metode. Dalam kondisi
seperti ini peran pemimpin adalah mengambil inisiatif dalam hubungannya dengan
tujuan dan arah daripada metode dan cara.
2. Identifikasi alternativ
Kemampuan untuk memperoleh alternativ yang
relevan sebanyak-banyaknya.
3. Tentukan proritas
Memilih diantara banyak alternativ adalah
esensi dari kegiatan pengambilan keputusan.
4. Ambil langkah
Upaya pengambilan keputusan tidak berhenti
pada tataran pilihan, melainkan berlanjut
pada langkah implementasi dan evaluasi guna memberikan umpan balik.
2. Peran kepemimpinan dalam mengendalikan konflik
Berkaitan dengan dunia organisasi, konflikpun kerap kali terjadi misalnya
saja konflik antara pemimpin dengan yang dipimpinnya atau antara kelompok kerja
yang satu dengan yang lain. Konflik terjadi disebabkan oleh berbedanya
kepribadian, kepentingan, latar belakang sosial, budaya, agama dan sebagainya
antara masing-masimg indivdu dalam organisasi tersebut. Konflik tidak bisa
dicegah melainkan hanya bisa dikendalikan, dikelola, bahkan disinergikan
menjadi sesuatu yang sangat dinamis dan harmonis. Dan ini adalah tugas dari
seorang pemimpin.dalam kepemimpinannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
efektifitas kepemimpinan seorang pemimpin adalah dapat dinilai dari bagaimana
ia mampu mengendalikan dan mengelola konflik begitu juga sebaliknya.
3. Peran kepemimpinan dalam membangun tim
Tim adalah kelompok kerja yang dibentuk dengan tujuan untuk menyukseskan
tujuan bersama sebuah kelompok organisasi atau masyarakat. Tujuan dari
pembentukan tim di sini adalah membangun unit kerja yang solider yang mempunyai
identifikasi keanggotaan maupun kerja sama yang kuat
1. Proses
pembentukan
Pedoman umum dalam membentuk atau membangun tim, yaitu:
a. Menanamkan pada kepentingan bersama
b. Menggunakan seremoni dan ritual-ritual
c.
Menggunakan simbol-simbol untuk mengembangkan identifikasi dengan unit kerja
d. Mendorong dan memudahkan interaksi sosial yang memuaskan
e. Mengadakan pertemuan-pertemuan membangun tim
f. Menggunakan jasa konsultan bila diperlukan.
2. Anggota
tim
Keberhasilan tugas dalam tim akan tercapai jika setiap orang bersedia untuk
bekerja dan memberikan yang terbaik. Anggota tim yang baik harus:
a. Mengerti tujuan yang baik
b. Memiliki rasa saling ketergantungan dan saling memiliki
c. Menerapkan bakat dan pengetahuannya untuk sasaran tim
d. Dapat bekerja secara terbuka
e. Dapat mengekspresikan gagasan, opini, dan ketidaksepakatan
f. Mengerti sudut pandang satu dengan yang lain.
g. Mengembangkan keterampilan dan menerapkanya pada pekerjaan.
h. Mengakui bahwa konflik adalah hal yang normal.
i. Berpartisipasi dalam keputusan tim.
3. Peranan kepemimpinan dalam tim
Kepemimpinan didefinisikan sebagai proses untuk memberikan pengarahan dan
pengaruh pada kegiatan yang berhubungan dengan tugas sekelompok anggotanya.
Mereka yakin bahwa tim tidak akan sukses tanpa mengkombinasikan kontribusi
setiap anggotanya untuk mencapai tujuan akhir yang sama.
Adapun peranan pemimpin dalam tim
adalah sebagai berikut:
a. Memperlihatkan gaya pribadi
b. Proaktif dalam sebagian hubungan
c. Mengilhami kerja tim
d. Memberikan dukungan timbal balik
e. Membuat orang terlibat dan terikat
f. Memudahkan orang lain melihat peluang dan prestasi
g. Mencari orang yang ingin unggul dan dapat bekerja secara kontruktif
h. Mendorong dan memudahkan anggota untuk bekerja
i. Mengakui prestasi anggota tim
j. Berusaha mempertahankan komitmen
k. Menempatkan nilai tinggi pada kerja tim.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
kepemimpinan dapat dirumuskan bahwa kepemimpinan berarti kemampuan dan
kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong,
mengajak, menuntun, menggerakkan, mengarahkan dan kalau perlu memaksa orang
atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu
yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertentu (Tim Dosen Administrasi
Pendidikan UPI,2009,125). Menurut Sindang P.Siagian (2003)
kepemimpinan merupakan motor atau daya penggerak dari semua sumber-sumber
bagi suatu organisasi. Pembahasan tentang kepemimpinan menyangkut tugas dan
gaya kepemimpinan, cara mempengaruhi kelompok, yang mempengaruhi kepemimpinan
seseorang.
Teori kontingensi melihat pada aspek situasi dari kepemimpinan (organization
context). Fiedler mengatakan bahwa ada 2 tipe variabel kepemimpinan: Leader
Orientation dan Situation Favorability.
DAFTAR PUSTAKA
havidzulloh.blogspot.com/2010/08/studi-kepemimpinan-michigan.html
http://inet.detik.com/read/2012/04/19/092110/1896016/398/bersih-bersih-yahoo-buang-50-produk
http://www.shvoong.com/business-management/human-resource-managementdouglas-theory-management/
http://blog.uny.ac.id/iisprasetyo/teori-path-goal-dalam-kepemimpinan/
http://www.envisionsoftware.com/Management/TheoryX
http://www.accel-team.com/human_relations/mcgregor
Vroom, VH dan Yetton, PW (1973). Kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Pittsburg: University of Pittsburg
Munandar, Ashar Sunyoto . 2001 , Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta. Universitas Indonesia
Edgar, H Schein. 1991, Psikologi Organisasi, Jakarta. Pustaka Binaman Pressindo
http://blog.uny.ac.id/iisprasetyo/teori-path-goal-dalam-kepemimpinan/
http://www.envisionsoftware.com/Management/TheoryX
http://www.accel-team.com/human_relations/mcgregor
Vroom, VH dan Yetton, PW (1973). Kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Pittsburg: University of Pittsburg
Munandar, Ashar Sunyoto . 2001 , Psikologi Industri dan Organisasi, Jakarta. Universitas Indonesia
Edgar, H Schein. 1991, Psikologi Organisasi, Jakarta. Pustaka Binaman Pressindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar