Minggu, 07 Desember 2014

askep gawat darurat asma dan kasusnya

Scenario Asma
Ners,,, saya sulit bernafas.
Ny. A umur 35 tahun datang ke Igd RS Fort De Kock dengan keluhan sulit bernafas semenjak 3 hari terakhir dan semakin parah 3 jam yang lalu sebelum dibawa kerumah sakit. Setelah dilakukan pengkajian didapatkan pasien merasa sesak, batuk pasien berdahak dan pasien mengatakan ia mempunyai riwayat asma dan pernah dirawat di RS saat remaja dan ia juga alergi terhadap debu  pasien mengatakan ibu pasien juga menderita asma dan pasien biasanya menggunakan obat salbutamol untuk menghilangkan/ mengurangi sesak nafasnya. Dari hasil pemeriksaan fisik dan observasi  didapatkan suara nafas pasien terdengar wheezing dan warna sputum pasien putih kental. Hasil TTV: TD: 140/100 MmHg, RR: 38X/menit, HR: 79X/menit dan Suhu: 36,50C.









LAPORAN ANALISA SINTESA TINDAKAN
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
Nama Pasien   : Ny. A                                                                        Tanggal           : 16 Oktober 2014
Umur               : 35 tahun                                                        Ruangan          :
·         Diagnosaa Medis        : Asma
·         Tindakan Keperawatan yang dilakukan: pemasangan O2.
·         Primary Survey
A: adanya secret sehingga menghalangi jalan nafas pasien.
B: peningkatan sekresi mucus
C:peningkatan tekanan darah dan nadi cepat
D:GCS: 13 dan respon pupil terhadap cahaya bagus
E: berikan ruangan yang nyaman dan yang cukup hangat kepada pasien.
·         Web of caution
·         Data penting   :
ü  Subjektif:
o   Pasien mengatakan dadanya nyeri hebat
o   Pasien mengatakan sulit bernafas
o   Pasien mengatakan mempunyai riwayat asma
o   Pasien mengatakan ia alergi debu
ü  Objektif:
o   suara nafas pasien terdengar wheezing
o   warna sputum pasien terlihat putih kental.
o   Hasil pengukuran TTV: TD: 140/100 MmHg, RR: 38X/menit, HR: 79X/menit dan Suhu: 36,50C.
o   Pasien terlihat sulit bernafas

·         Diagnose Keperawatan
ü  Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental.
·         Tujuan dan Kriteria Hasil
ü  Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 Jam diharapkan:
o   jalan napas paten dengan bunyi napas bersih atau jelas.
o   Menunjukan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
·         Intervensi Keperawatan
ü  Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, contoh: mengi
ü    Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
ü    Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.
ü  Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh: meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur.
ü  Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dan lain-lain.
·         Prinsip-prinsip tindakan rasional
ü  Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius.
ü  Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
ü  Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.
ü  Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
ü  Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.
·         Bahaya-bahaya yang mungkin muncul  terjadi akibat tindakan tersebut dan cara pencegahannya
ü Bahaya yang mungkin muncul henti nafas pencegahannya pantau selalu respirasi pasien
·         Hasil yang didapat
ü Subjektif:
o   Pasien mengatakan nyeri dadanya berkurang
o   Pasien mengatakan sekarang lebih mudah bernafas
ü Objektif:
o   Pasien terlihat rileks
o   Sputum pasien telah berkurang
o   Hasil pengukuran TTV: TD: 130/90 MmHg, RR: 26X/menit, HR: 70X/menit dan Suhu: 35,50C.
·         Identifikasi tindakan keperawatan lainnya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah/diagnose tersebut secara mandiri dan kolaborasi
ü  Mandiri: mengajarkan pasien teknik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri
ü  Kolaborasi: pemberian obat
·         Evaluasi diri







TEORI ASMA
1.      DEFENISI ASMA
Asma adalah kondisi jangka panjang yang mempengaruhi saluran napas-saluran kecil yang mengalirkan udara masuk ke dan keluar dari paru-paru. Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan). Saluran napas penyandang asma biasanya menjadi merah dan meradang. Asma sangat terkait dengan alergi. Alergi dapat memperparah asma. Namun demikian, tidak semua penyandang asma mempunyai alergi, dan tidak semua orang yang mempunyai alergi menyandang asma (Bull & Price, 2007).
Sedangkan menurut PDPI asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Jadi asma merupakan penyakit akibat inflamasi atau peradangan pada saluran nafas yang bias desebabkan oleh berbagai factor seperti reaksi alergi dengan gejala nafas dangkal dan cepat, sertadada terasa nyeri.
2.      Etiologi Asma
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma (Hadibroto & Alam, 2006):
1.    Pemicu (trigger) yang mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan (bronkokonstriksi). Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus sehari-hari seperti perubahan cuaca dan suhu udara dimana cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. (Bull & Price, 2007).
2.    Penyebab (inducer) yang mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran pernapasan. Umumnya penyebab (inducer) asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan dimana alergen masuk ke tubuh melalui mulut (dimakan/diminum) terutama makanan dan obat-obatan. Selain itu, bisa juga dalam bentuk inhalan yaitu alergen yang masuk ke tubuh melalui hidung atau mulut. seperti tepung sari (serbuk) bunga, tanaman, pohon, tungau, serpihan dan kotoran binatang, serta jamur.
Sedangkan menurut PDPI factor yang mempercepat resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara factor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk  predisposisi  genetik  yang  mempengaruhi  untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi  asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi  dan  atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam factor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.
3.      Patofisiologi Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
a.       Inflamasi akut
1)      Reaksi tipe cepat
Allergen masuk ketubuh melalui mulut, hidung dan lain-lain => allergen terikat pada IgE => menempel pada sel mast => terjadi degranulasi sel mast => menghasilkan preformed mediator  (histamine, protease) dan newly generated mediator ( leukotrin, prostaglandin dan PAF) => terjadi kontraksi otot polos bronkus => sekresi mucus => vasodilatasi saluran nafas => sesak nafas => asma.
2)      Reaksi tipe lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
b.      Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.








4.      Klasifikasi Asma
Asma dapat di klasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan udara. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
a.       Derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
b.      Derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan
5.      Manifestasi klinis asma
Batuk kering yang intermitten dan mengi merupakan gejala kronis yang sering dikeluhkan pasien. Pada anak yang lebih tua dan dewasa mengeluhkan sukar bernafas dan terasa sesak di dada. Pada anak yang lebih kecil sering merasakan nyeri yang nonfokal di bagian dada. Simptom respiratori ini bisa lebih parah pada waktu malam terutamanya apabila terpapar lebih lama dengan alergen. Orang tua sering mengeluhkan anak mereka yang asma mudah letih dan membatasi aktivitas fisik mereka (Nelson, 2007). Manakala menurut Boguniewicz (2007), mengi merupakan karakteristik yang utama pada pasien asma. Jika bronkokonstriksi bertambah parah, suara mengi akan lebih jelas kedengaran dan suara pernafasan menghilang. Menurutnya lagi, sianosis pada bibir dan nail beds akan terlihat disebabkan oleh hipoksia. Takikardia dan pulsus paradoxus juga bisa terjadi. Agitasi dan letargi merupakan tanda-tanda permasalahan pada pernafasan. Menurut Abbas et al (2007), pada pasien asma terjadi peningkatan produksi mukus. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi bronkus dan pasien mengeluhkan sukar bernafas. Kebanyakan dari penderita asma juga mengalami alergi rinitis dan eksema (Sheffer, 2004). Alergi rinitis merupakan inflamasi pada mukosa nasal yang ditandai dengan nasal kongesti, rinorea, bersin dan iritasi konjuntiva. Rinorea, nasal kongesti, bersin paroxysmal dan pruritus pada mata, hidung, telinga dan palatum merupakan tanda yang sering dikeluhkan oleh pasien alergi rinitis. Anak yang alergi rinitis bisa juga terjadi gangguan tidur, aktivitas yang terbatas, irritabilitas dan gangguan mood dan kognitif yang bisa menggangu prestasi anak di sekolah. Hidung yang terasa gatal akan menyebabkan anak sering terlihat menggosok hidung dengan tangan (Nelson, 2007). Beberapa kajian telah menyatakan bahwa alergi rinitis merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya asma. Prevalensi alergi rinitis pada pasien asma diperkirakan sebanyak 80 % hingga 90% (B Leynaert, 2000).
Menurut Akdis et al (2006) dalam Bieber (2008) dermatitis atopik atau eksema adalah penyakit kulit yang sering dideritai oleh pasien dengan penyakit atopik yang lain seperti asma dan alergi rinitis. Lesi kulit dermatitis atopik memperlihatkan adanya edema dan infiltrasi sel mononuklear dan eosinofil serta penimbunan cairan dalam kulit(membentuk vesikel yang jelas terlihat secara klinis). Pecahnya vesikel kecil dalam jumlah yang banyak ini mengakibatkan terbentuknya krusta dan kulit menjadi bersisik. Perubahan ini dan pruritus berat yang mendahului dan menyertai erupsi, terjadi karena kulit sangat kering. Pada keadaan ini, terjadi hambatan pengeluaran keringat dan retensi keringat seringkali menimbulkan gatal-gatal berat yang disebabkan oleh panas. Rasa gatal dan rasa sakit yang hebat akibat kulit yang pecah-pecah adalah keluhan utama pasien eksema ( Solomon, 2003). Eksema jarang terjadi pada orang dewasa. Eksema dimulai sejak usia 2 bulan sampai 6 bulan, sering terdapat pada wajah dan iritasi ini menyebabkan anak tidak dapat tidur. Hasil kajian juga menunjukkan 25% penderita eksema alergi terhadap telur, susu, kacang, tepung, ikan dan kerang (Pitaloka, 2002).
6.      Penatalaksanaan Asma
Sasaran utama sebagai strategi pertahanan terhadap asma adalah zat – zat iritan dan alergen. Keduanya bisa merangsang timbulnya reaksi pada salur pernafasan. Penghindaran terhadap faktor lingkungan adalah saran yang paling ampuh dalam usaha menghadapi asma. Cara ini sangat alami, tidak perlu mengkonsumsi obat-obatan, tiada akibat sampingannya serta udara dan lingkungan yang bersih membawa manfaat bagi seluruh anggota keluarga yang lain (Iwan dan Syamsir, 2006).
Terdapat dua kategori obat untuk penyembuhan asma yaitu obat pelega yang bekerja dengan cepat (quick-relief) dan obat kontrol untuk jangka panjang (long-term control). Obat pelega yang digunakan adalah short-acting ß2 agonist (SABA), anti kolinergik dan kotikosteroid oral. SABA (seperti albuterol, levalbuterol dan pirbuterol) merupakan antara bronkodilator yang efektif. SABA bekerja dengan memberikan efek relaksasi pada otot polos bronkus dan mula bekerja 5 hingga 10 menit setelah administrasi. Ipratropium bromida merupakan antikolinergik bronkodilator yang mengurangkan hipersekresi mukus dan irritabilitas reseptor batuk dengan mengikat asetilkolin di reseptor muskarinik yang terdapat pada otot polos bronkus. Anak asma dengan eksaserbasi akut diberikan kortikosteroid untuk 3 hingga 10 hari. Dosis awal diberikan 1-2 mg/kg/hari dengan Prednison untuk 2 hingga 5 hari yang berikutnya. Untuk obat kontrol jangka panjang pula digunakan obat long-acting ß 2 agonist (LABA), kortikosteroid inhalasi, teofilin dan leukotrien modifiers. LABA  (salmeterol, formoterol dan bambuterol) memberikan efek relaksasi otot polso bronkus dan bekerja selama 12 jam tapi obat ini tidak memberikan efek anti inflamatori yang signifikan. Leukotriene modifiers dibagi menjadi dua kelompok yaitu cysteinyl leukotriene reseptor antagonists(zafirlukast dan montelukast) dan leukotriene synthesis inhibitors (zileuton) (Nelson, 2006). Leukotriene modifiers bekerja sebagai anti inflamasi dan bronkodilator. Manakala teofilin bekerja dengan cara menghambat fosfodiesterase seterusnya menghambat pemecahan cyclic-AMP. Teofilin merupakan terapi tambahan bagi kortikosteroid inhalasi (Gwilt et al, 2008).
           

Sumber:
Bull, Eleanor & David Price. (2007). Simple Guide Asma. Jakarta: Penerbit Erlangga
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia . di unduh 15 oktober 2014.

2 komentar: